DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PERTANIAN INDONESIA
Pendahuluan
Menghangatnya kembali diskursus globalisasi dalam bangsa yang aneh ini, cukup tepat untuk direspon, karena sejatinya struktur dan cultur bangsa ini masih patut dipertanyakan kelayakan dan kesiapannya dalam menghadapi globalisasi. Kenapa bangsa ini dikatakan aneh? Karena bangsa yang secara sah telah menyatakan keterlibatannya dalam globalisasi (baca: perdagangan bebas) ini masih tetap tampak santai dan tidak responsif atas manuper politik negara pesaing pra-globalisasi. Borok dan kelemahan bangsa yang masih kentara disana sini, baik pada human capital, supporting institution, maupun natural resources sepertinya enggan untuk dieliminasi oleh para pelaku kebijakan.
Anehnya lagi, diskursus globalisasi di Indonesia pada kenyataannya hanya marak pada tataran wacananya, sementara pasca legalisasi, entitas ekonomi ini “sepi” seperti tidak mengerti atas substansi dan implikasi globalisasi. Mungkinkah bangsa ini terlalu pede dengan kekayaan alamnya, atau jangan-jangan kita ini memang terkena sindrom. Tetapi “Tidak” kata para ekonom, karena sesungguhnya globalisasi memberikan peluang yang sama kepada semua negara (kayamiskin,utara-selatan, timur-barat, dsb) untuk menjadi kuat dan kaya. Tetapi harus ingat kata para sosiolog, bahwa globalisasi yang berpijak di atas kapitalisme juga berpeluang bagi meningkatnya kesenjangan dalam relasi dualisme tersebut.
Indonesia adalah negara kaya raya, untuk itu wajar jika eksistensinya akan selalu menjadi pusat perhatian dan perburuan negara maju yang miskin sumberdaya alam. Indonesia diprediksi mampu menjadi negara terkaya Ke-5 di dunia, jika mampu menggali secara optimal dan mengatur pengeluarannya. Optimisme tersebut jauh sebelumnya pun diketahui semua negara maju, untuk itu mereka yang merasa terancam akan senantiasa menciptakan kondisi dan situasi yang tidak mendukung ke arah itu. Instabilitas politik dan eksploitasi sumberdaya dalam mendorong kelangkaan akan semakin menggejala di era globalisasi.
Indonesia adalah ladang investasi yang potensial. Oleh karena itu neokolonialisme akan senantiasa mencengkram. Jika strateginya tidak bisa seperti Spanyol yang membabat habis Suku Indian, atau Inggris atas Suku Aborigin, maka mereka akan mengandalkan TNCs dan kaum borjuis puritan untuk menguasai Indonesia. Agar kita tidak menjadi budak, buruh, kuli, atau “pemaklun” di negeri sendiri, maka sumberdaya lokal harus didorong untuk mengglobal. Untuk itu, kita harus memahami secara pasti arus pemikiran globalisasi yang sesungguhnya, termasuk implikasi jangka pendek dan jangka panjangnya.
Menurut Salim (1995), globalisasi mencakup lima unsur penting, yaitu:1) globalisasi dalam perdagangan, yaitu dengan adanya AFTA, APEC, dan WTO; 2) globalisasi investasi, dimana modal akan mengalir ke tempat yang memberi banyak keuntungan; 3) globalisasi industri, dimana suatu barang tidak hanya diproduksi pada suatu tempat akan tetapi dibanyak tempat; 4) globalisasi teknologi, terutama teknologi di bidang informasi, telekomunikasi,
transportasi, dan sebagainya; dan 5) globalisasi konsumsi, dimana terjadi peralihan dari pemenuhan kebutuhan (needs) kepada pemenuhan permintaan (wants). Dengan demikian terjadi reduksi kedaulatan ekonomi suatu Negara oleh konvensi internasional. globalisasi pada hakekatnya bertumpu di atas
paham ekonomi neo-liberal. Para penganut ini percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan dicapai dengan “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif merupakan implikasi dari trash bahwa “free market” adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga yang berlaku merupakan indicator apakah sumberdaya yang ada masih berlimpah atau sudah langka. Harga yang tinggi berarti sinyal positif bagi investasi. Implikasinya, mereka berusaha keras untuk menciptakan berbagai kelangkaan sumberdaya di negara dunia ketiga. Prosesnya dilakukan melalui invisible hand dan keluar dari cengkraman kebijakan pemerintah. Oleh karena itu mereka memandang proteksi, subsidi, dumping, paham keadilan sosial, kesejahteraan bagi rakyat, kearifan lokal dan sebagainya sebagai patologi ekonomi neo-liberal. Untuk itu mereka akan berusaha secara langsung maupun tidak langsung menghapus berbagai kebijakan suatu negara yang dapat merintanginya.
Secara historis empiris, globalisasi lahir dari konsensus para pembela ekonomi private terutama wakil-wakil dari perusahaan raksasa yang menguasai dan mengontrol pasar dan ekonomi internasional serta memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi (media massa) dalam membentuk opini publik. Konsensus tersebut lebih dikenal dengan “The Neoliberal Washington Consensus”. Pokok-pokok globalisasi meliputi: Pertama, bebaskan
perusahaan swasta dari camput tangan pemerintah (perburuhan, upah, investasi, harga), biarkan mereka mempunyai otoritas; Kedua, hentikan subsidi, longgarkan dan hilangkan kebijakan proteksi, lakukan privatisasi atas BUMN; Ketiga, hapuskan kearifan lokal, pemilikan komunal, kesejahteraan bersama, serahkan pengelolaan pada ahlinya (privatisasi)
jangan oleh masyarakat adat (lokal) karena tidak efisien (Fakih, 2001). Internasionalisasi produksi dan penguasaan ruang dalam distribusi\ sebagai gejala globalisasi diprakarsai lewat perubahan kebijakan
pembangunan nasional kearah integrasi dengan kebijakan internasional.
Pertanian (pangan) dan pertambangan (bahan bakar) merupakan dua sektor
yang menjadi fokus utama dari integrasi internasional, dan karena keduanya
merupakan determinan lahirnya globalisasi. Adapun idiologi dan politik, tidak
lebih hanya sekedar pembungkus dari want yang sesungguhnya bertumpu
pada natural resources. Inti dari globalisasi sesungguhnya tidak berbeda
dengan imperialisme atau kolonialisme, yaitu penguasaan bahan baku
(Malthus). Menurut Adam Smith, Singer, Arndt, dan Becker, jalan menuju
globalisasi adalah human capital.
Globalisasi Pertanian di Dunia
Globalisasi pertanian secara kausalistik muncul sebagai respon atas
tesis Malthus (1766-1834). Ini merupakan perwujudan dari idiologi
kapitalistik yang berkarakter efisiensi (profit maxization), competition for gain,
freedom, un-security, dan un-sustainability (sementara) yang eksis dalam
naungan prudence atau the invisible hand (Adam Smith). Un-security inilah
yang mendorong revolusi industri, pencarian dan penaklukkan, imperialisme
atau kolonialisme di dunia, dan penemuan lewat rekayasa genetik. Pada dasarnya, un-security-lah yang melandasi semangat evolusi, dan social darwinisme. Pada perkembangannya, tesis Malthus bersimbiosis dengan keyakinan dan mitos efficiency sebagai satu-satunya prinsip dasar yang harus dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan berbangsa.
Mitos tersebut kemudian berlanjut pada mitos lain, bahwa hanya Trans
National Corporations (TNC) yang memiliki jaringan pemasaran internasional
yang sudah mapan-lah yang paling efisien, dan oleh karenanya TNC lah yang
dipercaya dan ditaklidi sebagai pihak yang paling berhak sebagai penyedia
pangan dunia.
Meningkatnya ketakutan akan kelangkaan pangan dan bahan baku
mendorong Rockefeller dan Ford Foundations terjun ke sektor pertanian.
Melalui US Agency for International Development (USAID), pada tahun 1960-
an memunculkan konsep pembangunan pertanian yang kelak menjadi hantu
bagi para petani, yaitu Green Revolution (IPFRI, 2003). Setelah itu muncul
International Rice Research Institute (IRRI), Center for Maize and Wheat
Improvement (CYMMIT), hingga Putaran Uruguay, GATT, WTO, IMF, APEC,
dan sebagainya. Secara substansial, klaim kekuasaan atas bio diversity dan
berbagai inovasi dituangkan dalam lembaga Hak Paten dan Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI). Klaim kekuasaan pasar dilembagakan dalam
bentuk Kartel, Standar Internasional, bahkan Undang-Undang Bio-terorisme.
Semakin kuatnyanya TNCs, maka semakin memonopoli inovasi dan
pasar. Berbagai macam sarana produksi, mulai dari benih, alat mesin
pertanian, pestisida, modal, dan kriteria pasar dimonopoli oleh TNCs melalui
undang-undang Hak Paten. Ini merupakan skenario pemusnahan kearifan
dan sumberdaya lokal. Negara-negara dunia ketiga harus tunduk pada
mekanisme TNCs, jika ingin menembus pasar internasional. Sangat sadis,
karena segalanya menjadi ketergantungan atas input luar, inilah yang disebut
dengan “Total Konsumen”. Sekalipun ada penyerahan proses produksi,
namun tidak lantas mendudukkan petani di negara dunia ketiga menjadi
produsen, karena sifatnya hanya melakukan titah (budak) “ngorder atau
ngemaklun” yang posisi tawarnya serba lemah dalam segala hal.
Globalisasi Pertanian di Indonesia
Genderang globalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telah
dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan
hongitochten, yaitu cara perdagangan monopoli yang disertai dengan
penghancuran kebun-kebun/hutan-hutan rempah penduduk yang berani
menyaingi monopoli perdagangan tersebut (Satari, 1999). Pada tahun 1830
5
globalisasi semakin kentara dengan diterapkannya kebijakan tanam paksa
(cultuurstelsel). Tanah sebagai sumberdaya alam yang penting dikuasai oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda yang di desa diwakili Kepala Desa dan
dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya. Pada tahun
1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria
(Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swasta Eropa sebagai tonggak
pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yang semula merupakan petani
mandiri berubah status menjadi buruh perkebunan, dan berakhir di awal
abad ke 19 (VOC bangkrut).
Globalisasi pertanian di Indonesia memuncak pada era 1970-an, ketika
program Revolusi Hijau (Green Revolusion) intens diintroduksikan. Berbagai
input luar produk dari perusahaan-perusahaan TNCs dipaksakan kepada
petani untuk diterapkan. Puncaknya tercapai tahun 1985, yaitu swasembada
beras. Setelah itu intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila
seiring dengan dikembangkannya konsepsi agribisnis.
Di penghujung abad 20, kebijakan ekonomi makro Indonesia semakin
jelas tepolarisasi pada pertumbuhan. Implikasinya, alokasi sumberdaya
untuk pembangunan pertanian tergeser oleh sektor manufaktur sebagai
sektor prioritas. Dengan demikian, pembangunan yang selayaknya
“agriculture-led” menjadi di dominasi oleh pembangunan yang bersifat
“manufacturing industries-led”.
Meningkatnya respon negatif dari berbagai kalangan atas dampak
negatif program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs terhenti. Melalui
sosialisasi pada berbagai ruang publik, TNCs pun dapat melangkah dengan
mulus lewat pendekatan Agribisnis. Lewat pendekatan inilah senyatanya
TNCs dapat dengan mudah mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar
internasional yang dikuasai dan dikontrolnya. Melalui pendekatan Agribisnis
dominasi TNCs diperhalus dengan menghadirkan keragaman istilah yang
sepertinya berbau pemerataan, seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI),
Rice Estate, Corporate Farming, dan sebagainya. Dengan demikian,
perbudakan dan pemarginalan petani menjadi tidak kentara. Secara sosial
praktis, TNCs pun menjadi baking para petani berdasi dalam segala hal. Ini
merupakan praktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan menyingkirkan
para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usahatani sayuran
di Dataran Tinggi, poultryshop, dsb)
Dampak Globalisasi Pertanian
Globalisasi secara teoretis penuh dengan tuntutan atas negara-negara
yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk,
mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasi eksporimpor,
perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukan privatisasi atas
perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan banyak membawa
produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun perusahaanperusahaan
TNCs dibebani tanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak
akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contrac farming yang pada
hakekatnya bermodus eksploitasi.
6
Syarat-syarat yang ditetapkan sesungguhnya merupakan perangkap
yang sulit ditembus oleh negara dunia ketiga. Kecenderungannya akan
mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal. Pada
perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melemah dan
hilang. Mahatir (Kompas, 5/2/2004) berpendapat bahwa pengintegrasian
perekonomian dunia hanya akan membawa malapetaka bagi negara
berkembang. Itu bukan hanya merusak ekonomi lokal, tetapi juga akan
menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, dan kekacauan sosial
(social chaos).
Mander, Barker, dan Korten (2003) menyatakan bahwa globalisasi
ekonomi justru menciptakan kondisi sebaliknya dari klaim para
penganjurnya. Kegagalan itu tidak hanya disuarakan oleh oposisi tetapi juga
oleh para pendukungnya. UNDP (1999) melaporkan bahwa ketimpangan antar
petani kaya dengan petani miskin semakin meluas setelah diberlakukannya
globalisasi. Adalah sistem perdagangan dan sistem keuangan global sebagai
biang keroknya. Menurut CIA, globalisasi tidak menyentuh kaum miskin,
termasuk petani gurem (peasant) yang jumlahnya sangat dominan di
Indonesia.
Globalisasi cenderung menghancurkan tatanan dan modal-modal sosial. Meskipun gagasannya dituangkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat sebagai penampakan corporate social responsibility TNCs, namun hasilnya tetap tidak pernah terwujud. Menurut Pollnac (1988) dan Garkovich (1989), menghadirkan sebuah lembaga baru dalam suatu masyarakat dengan maksud memotong struktur hubungan atau jaringan (sosial, komunikasi,
kerja) yang telah terpola atau berlangsung mapan, merupakan skenario yang tidak mengindahkan karakteristik sosio-budaya dan pranata lokal, dan dengan ini kegagalan bisa terjadi. Hasil penelitian FAO atas negara-negara yang mengimplementasikan kesepakatan putaran uruguay di 16 negara menunjukkan telah terjadinya trend konsentrasi pertanian yang jelas berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan.
Impor berbagai produk dan bahan baku pertanian kian hari kian meningkat. Meskipun jumlah produk pertanian yang diekspor dan dipasarkan di pasar domestik jauh lebih tinggi daripada impor, namun selisih nilainya hanya 2 persen (Khudori, 2003). Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti, karena jika dianalisis, nilai transaksi berjalan produk pertanian Indonesia itu sesungguhnya devisit. Betapa tidak, produk pertanian yang diekspor oleh Indonesia sesungguhnya adalah produk yang padat dengan input luar (impor). Keunggulan produk tersebut jelas sangat bersifat kompetitif semu (shadow competitivenes). TNCs sebagai pihak yang paling tahu akan efisiensi memandang bahwa proses produksi usahatani (on-farm) sangat rentan terhadap risiko dan ketidakpastian, untuk itu ia menerapkan strategi kemitraan atau contarc farming.
Memang sebagai “pemaklun” yang sangat ketergantungan, petani
Indonesia masih merasakan keuntungan. Sebagaimana dikatakan Evans (1979) dan Warren (1980), negara ketiga bisa menikmati kemajuan meskipun berada dalam kondisi ketergantungan, suatu proses yang disebutnya sebagai “dependent development”. Namun keuntungan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya dan kerugian yang harus ditanggung, seperti gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan, serta risiko dan ketidakpastian lainnya.
ampak yang paling kentara adalah terjadinya “kemandegan inovasi” dalam seluruh sistem agribisnis. Ini merupakan implikasi dari ketergantungan pada produk-produk impor. Pemikiran efisiensi yang diadopsi secara mentah-mentah telah menyebabkan bangsa yang kaya akan sumberdaya ini jatuh pada budaya instan dan malas. Produk-produk yang senyatanya dapat diproduksi di dalam negeri didatangkan dari luar hanya karena alasan murah. Para pelaku importir yang sesungguhnya merupakan perpanjangan tangan dari TNCs dapat dengan mudah mendatangkan produkproduk dari luar karena longgarnya regulasi ekspor-impor. Dampak budayanya adalah melemahnya penghargaan atas produk-produk lokal, sebagai akibat dari berkembangnya budaya konsumerisme yang kebaratbaratan (western). Kondisi ini jelas sangat menguntungkan TNCs, karena secara perlahan inovasi lokal tercerabut dari budayanya. Ini merupakan peluang besar bagi investasi.
Dampak lainnya adalah tidak berperannya kelembagaan-kelembagaan pendukung pertanian lokal. Hal ini terjadi karena TNCs selaku pihak yang kuasa, telah memasok segala kebutuhan petani (buruh) secara langsung. Ini pun merupakan rangkaian dari upaya untuk mengurangi campur tangan pemerintah. Pada kondisi seperti ini, kreativitas dan keinovatifan
kelembagaan pendukung pertanian pemerintah malah menjadi mandul. Pada ujungnya, globalisasi membawa seluruh warga dunia ke situasi yang serba spekulatif. Meningkatnya dominasi dan persaingan tidak menutup kemungkinan akan mendorong pihak yang lemah untuk menerapkan strategi picik, seperti polusi dan kekacauan pasar (market chaos), instabilitas dan polusi politik, penghancuran komoditas lewat penyebaran virus secara terencana, social chaos, dan pembentukan opini publik.
Bagaimana sikap kita? Menurut Scott (1983), suatu perlakuan tidak adil akan dianggap eksploitatif oleh pihak yang berada dalam kondisi rawan subsistensi bila: 1) kerangka legitimasi atas perlakuan tersebut memang tidak bisa diterimanya, dan 2) tersedia alternatif status selevel atau lebih rendah yang bisa menampungnya bila ia terpaksa meninggalkan hubungan yang tidak adil tersebut. Celakanya, kita sudah meratifikasi perjanjian perdagangan bebas tersebut, lalu apa yang perlu kita lakukan?
Jika mencari perimbangan dampak positif Globalisasi bagi negaranegara dunia ketiga, jelas sangat kecil dibandingkan dengan dampa negatifnya. Sama seperti halnya dengan mekanisme kolonilasime, dampak positifnya paling banter politik etis (pembangunan fisik). Kalaupun dilakukan melalui peningkatan sumberdaya manusia tidak lebih sekedar untuk melanggengkan dominasi power dan mengeksploitasi budaya. Tetapi yang pasti memberi peluang yang besar untuk memunculkan tandingan atau komparasinya, yaitu lokalisasi (localism). Menurut Collin Hines (2000) dalam bukunya “Localization: The Global Manifesto”, globalisasi bukanlah pemberian tuhan, artinya ia dapat diralat ke arah teologi baru globalisasi dengan lebih memberi tempat kepada pahan localism yang melindungi dan membangun kembali ekonomi lokal. Gagasan Hines yang mengetengahkan Protect the Local Globally atau pendekatan berbasis lokalita memang lebih memberdayakan. Namun itu saja tidak cukup, karena untuk meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia di pasar domestik maupun internasional seperti sekarang ini, perlu disertai dengan inovasi pada sistem pembangunan pertanian secara
keseluruhan.
Post a Comment